Diasuh oleh:
Ust. Muhammad Muafa, M.Pd
Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jawa Timur
Pertanyaan kirim ke: redaksi@suara-islam.com
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Pak Ustad saya memiliki seorang kakak perempuan, dia sudah menjalin hubungan selama 5tahun dengan seorang lelaki putra dari seorang Kiai yang cukup memiliki nama di daerah tempat tinggalnya. Sepengetahuan keluarga kami dan teman-temannya kakak saya adalah sosok muslimah yang penurut, baik, pandai (mengingat salah satu prestasinya sebagai Mahasiswi Cumlaude dari Univ. Ternama di Jakarta), ia mudah berkomunikasi dengan siapapun, aktif berkegiatan sosial juga organisasi keislaman dikampusnya dengan berturut turut menjabati bidang syiar, anggota salah satu organisasi advokasi ternama, selalu memelihara Qiayamul lailnya maupun puasa Sunahnya, ia pun memiliki murobi dan memiliki hapalan Al-Qur'an yang lumayan.
Kelemahannya kakak saya pun lumayan banyak pak ustad, ia mudah bersimpati pada orang lain sampai sampai tidak bisa membedakan mana penipu mana orang baik, mudah mempercayai orang lain hingga ia sering tertipu, iapun terlampau amat sangat polos dengan laki-laki hingga dari kecil hingga kuliahpun ia terus mendapatkan pengawasan yang cukup ketat dari orang tua kami. Namun sejak mengenal dan menjalin hubungan dengan lelaki tersebut kakak saya menjadi sosok yang tertutup tidak terbuka seperti biasanya, selalu menyendiri, melamun, menangis, terkadang memiliki lebam dibagian wajah ataupun tubuhnya dan jika ditanya ia berkata hanya jatuh dan jatuh, pergaulannyapun dibatasi oleh lelaki tersebut, bahkan kakak sayapun tidak menjalani lagi liqonya dan beralih mengikuti apa yang dikatakan oleh lelaki tersebut. Keluarga kami menaruh kepercayaan lebih pada lelaki tersebut mengingat lelaki tersebutpun memiliki dan selalu menambah terus hapalan Al-Qur'annya bahkan terkadang kami mendengar mereka bermurotal melalui telfon saling bertukar hapalan.
Singkatnya pada akhir bulan Februari 2012 lelaki tersebut membawa keluarganya datang untuk mengkhitbah kakak saya bahkan keluarga lelaki tersebut memaksakan untuk pertengahan bulan Mei 2012 sebagai tanggal pernikahannya, lamaran tersebut akhirnyapun diterima dengan besar hati oleh keluarga saya. Segala persiapan sudah kami sewa mulai dari Masjid, gedung hingga dekorasi bahkan pakaian pengantinpun telah dijahit. Namun seminggu setelah lamaran dilangsungkan mendadak lelaki tersebut membatalkan secara sepihak lamarannya hanya melalui telfon pribadinya pada kakak saya. Keluarga besar kami terkejut dan merasa dipermainkan oleh keluarga lelaki tersebut, lebih dari seminggu kami menghubungi keluarga mereka untuk meminta konfirmasi namun mereka tidak menggubris telfon ataupun sms kami. Kakak kami amat terpukul, awalnya kami merasa dia hanya sakit sebentar ternyata dia tidak kunjung sehat dan pada akhirnya kami sebagai keluarga terutama ibu saya lebih aktif berkomunikasi dengan dia. Alhasil ibu saya menangis histeris mendengar permohonan maaf kakak saya ditelapak kakinya dan mendengar pengakuan kakak saya bahwa ia telah dizinahi oleh lelaki tersebut dan sempat beberapa kali mengalami kekasaran fisik maupun mental dari lelaki tersebut, bahkan kakak saya mengaku pernah mengandung beberapa janin dari lelaki tersebut dan lelaki tersebutpun memaksa kakak saya untuk menggugurkan kandungannya dengan ancaman akan meninggalkannya dan tidak akan menikahinya apabila janin tersebut tidak gugurkan.
Ternyata selama kurun waktu 5 tahun kakak saya menyimpan aib dan penderitaannya sendiri dan ternyata lelaki tersebut mengaku pada kakak saya bahwa aib yang selama ini tersimpan telah ia sampaikan pada keluarganya dan sebagai konsekuensinya lelaki tersebut harus Membatalkan pernikahannya dengan kakak saya, Mengundurkan diri dari pekerjaannya dan Harus dikucilkan dari keluarganya selama 2 tahun dan lelaki tersebut meminta kakak saya untuk datang ke pengajian bulanan Majelis Tarbiyah kakaknya untuk menggantikan dia selama 2tahun karena masa pengucilannya dan dia pun meminta kakak saya untuk menemui Kakaknya untuk menjalani program Majelis tersebut bahkan lelaki tersebut masih berkata ingin berjodoh dengan kakak saya apabila bertemu lagi. Karena telah mengetahui ihwal sebenarnya, maka kamipun gencar menghubungi mereka baik melalui telfon ataupun sms.
Awal Maret 2012 wakil keluarga lelaki tersebutpun datang dan mengatakan bahwa pernikahan tidak dibatalkan dan lelaki tersebutpun mau bertanggung jawab pada kakak saya. Mendengar berita tersebut akhirnya persiapanpun kami lakukan lagi, namun lagi lagi keluarga mereka memutus komunikasi, hal tersebut menyebabkan ayah kami terkena serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit.
Pertengahan Maret 2012 akhirnya keluarga inti kami mendatangi kediaman lelaki tersebut di Garut. Kami terkejut karena orang tua lelaki tersebut dan lelaki itu dilarang bertemu dengan keluarga kami oleh kakak tertua dari lelaki tersebut yang merupakan kiai yang mengasuh suatu majelis di daerah tersebut. Sebut saja kiai itu dengan AB, ia merupakan pimpinan suatu majelis tarbiyah yang setiap ucapannya harus diikuti dan dipatuhi oleh jamaahnya sedangkan keluarga kami bukanlah jamaahnya pak ustad dan ia mengatakan bahwa pernikahan antara kakak saya dan adiknya telah dibatalkan oleh wakilnya, sementara jelas sekali dengan dihadiri lebih dari 6orang saksi yang mendengar bahwa wakil tersebut menyampaikan bahwa pernikahan tidak pernah dibatalkan. AB tetap bersikukuh bahkan berbicara hentak pada ibu saya dengan mengatakan kakak saya haram untuk dinikahi oleh adiknya karena pezina dengan pezina jika dinikahkan selamanya tetap zinah hubungannya dan adiknya harus menjalani hukuman yang telah ia berikan untuk sebagai hukuman di dunia daripada harus menjalani hukuman di akhirat. Ibu saya tersinggung dengan ucapannya dan ibu saya berkata bahwa di dalam Al-Qur'an Surat An-Nur ayat 3 jelas menegaskan bahwa, "Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik, dan Pezina Perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin", Dan sebesar biji zarapun dosa manusia akan tetap di hisab oleh Allah SWT, ibu saya memperjuangkan hak kakak saya untuk tetap dinikahi oleh adiknya karena kakak saya tidak dalam keadaan hamil maka seharusnya adik kiai tersebut harus bertanggung jawab pada kakak saya melalui pernikahan. Namun AB menyatakan sekali tidak bisa tetap tidak bisa silahkan ibu tanya ulama ataupun kiai manapun hasilnya tetap sama. Lelaki yang telah menzinahi kakak sayapun berkata bahwa ia tidak akan menikahi kakak saya dan ia menyuruh kakak saya untuk mencari laki-laki lain yang bisa membahagiakannya dan ia akan bertanggung jawab dalam bentuk lain, Kakak saya pingsan mendengar ucapan tersebut dan sakit hingga saat ini. Jujur pak Ustad saya dan keluarga merasa dizolimi oleh keluarga lelaki tersebut, kakak saya bukan pelacur pak ustad lelaki tersebut yang telah merampas kehormatan kakak saya, membunuh janin, merenggut kesempatan kakak saya untuk bahagia bahkan merampas kehidupan agamis kakak saya yang menjadi contoh bagi kami adik-adiknya bahkan saudara kami yang lain, sama sekali sikap maupun ucapan mereka bagaikan orang yang tidak beragama karena tidak menghormati seorang ibu apalagi seorang wanita yang jelas dalam Islam amat dilindungi haknya dan merekapun tidak memikirkan masa depan kakak saya dengan gampangnya mereka menyatakan haramnya kakak saya dan dengan tanpa rasa bersalah menyuruh kakak saya mencari lelaki lain, terlebih pak ibu saya merasa kakak saya telah dimanfaatkan oleh lelaki tersebut mengingat selama lelaki tersebut menempuh pendidikannya kakak saya yang mengerjakan tugas-tugasnya bahkan tugas akhirpun adalah buatan kakak saya pak ustad.
Hal di atas merupakan kronologi kejadian yang sebenarnya pak Ustad.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apakah keputusan sepihak dari AB untuk membatalkan pernikahan adalah benar?
2.Apakah Kakak saya perlu mengikuti program dan menghadap pada AB dan menjadi jamaah dari Majelis tersebut pak ustad agar bisa menikah dengan lelaki yang telah menzinahinya?
3. Apakah benar perkataan AB tersebut bahwa kakak saya haram untuk dinikahi oleh adiknya? Jika Haram apa dasarnya pak Ustad?
4. Apakah Benar ucapan AB yang menyatakan bahwa pezina jika menikahi pezina maka hubungannya selamanya tetap zinah pak ustad? Jika benar apa dasarnya pak?
5. Apakah benar ucapan AB bahwa hukuman yang ia berikan pada adiknya merupakan hukuman di dunia dan di akhirat tidak akan mendapatkan hukuman lagi dari Allah SWT.? Jika benar apa dasar hukumnya pak ustad?
6. Mengingat kakak saya saat ini dalam fase bimbingan menuju Taubatnya pak dan alhamdulillah ia telah kembali mendapatkan Murobbi yang bersedia menerimanya, apakah sebaiknya kakak saya tetap dinikahkan dengan lelaki tersebut atau tidak pak ustad?
Mohon Jawabannya pak Ustad, agar semua permasalahan ini menjadi jelas pak ustad. Terimakasih pak untuk waktu dan kesediannya menjawab..
Wassalamualaikum, Wr.Wb.
Rengga Oktaria Dyba
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Kesepakatan antara peminang dengan yang dipinang untuk menerima Khitbah/pinangan/lamaran, baik yang menerima pinangan tersebuk pihak wanita secara langsung ataupun Walinya termasuk Akad Jaiz sebagaimana Akad Wakalah (perwakilan), Wadi'ah (titipan), Syirkah (perseroan) dan semisalnya bukan Akad Lazim seperti akad jual beli,akad Ijaroh (perkontrakan), akad Salam (pembelian uang dimuka) dan semisalnya. Akad Jaiz boleh difasakh (dibatalkan) secara sepihak tanpa persetujuan pihak yang lain, semantara akad Lazim tidak bisa difasakh tanpa persetujuan kedua belah pihak yang berakad.
Dalil yang menunjukkan mubahnya membatalkan pinangan adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 110)
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Dari Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya." (H.R.Bukhari)
Lafadz " hingga ia menikahinya atau meninggalkannya " menunjukkan orang yang telah mengkhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah pinangan tersebut diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau meninggalkan pinangannya. Jika dia memilih meninggalkan pinangannya maka hal itu bermakna dia membatalkan pinangan. Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan. Oleh karena itu membatalkan pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.
Kebolehan membatalkan bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas tidak diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi, pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap mubah tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status hukum dan tidak dipertimbangkan.
Ali pernah melamar seorang wanita, kemudian membatalkan pinangannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (12/ 69)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ قَالَ
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ
Dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku 'Ali bin Husain bahwa Al Miswar bin Makhramah berkata; "'Ali pernah meminang putri Abu Jahal, lalu hal itu didengar oleh Fathimah. Maka Fathimah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; "Kaummu berkata bahwa baginda tidak marah demi putri baginda. Sekarang 'Ali hendak menikahi putri Abu Jahal". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dan aku mendengar ketika beliau bersyahadat bersabda: "Hadirin, aku telah menikahkan Abu Al 'Ash bin ar-Rabi' lalu dia berkomitmen kepadaku dan konnsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila ada orang yang menyusahkannya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan putri dari musuh Allah pada satu orang laki-laki". Maka 'Ali membatalkan pinangannya. (H.R.Bukhari)
Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ} [الصف: 2، 3]
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (As-Shoff;2-3)
Maka ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan Khitbah/pinangan karena ayat ini sama sekali tidak berbicara topik pernikahan atau Khitbah. Ayat ini berbicara tentang Jihad dan mencela sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian yang berisi keinginan mereka melakukan amal yang paling dicintai Allah. Ternyata, setelah turun ayat yang memberitahu bahwa diantara amal yang paling dicintai Allah adalah berbaris rapi dalam rangka berjihad, sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian itu merasa berat dengan kewajiban Jihad padahal sebelumnya mereka mengangan-angankannya. Sikap seperti inilah yang dicela oleh Allah dalm ayat ini. Yang menguatakan bahwa ayat ini turun berkaitan masalah Jihad adalah ayat sesudahnya yang berbunyi;
{نَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ} [الصف: 4]
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (As-Shoff;4)
Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;
صحيح البخاري (1/ 58)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". (H.R.Bukhari)
Maka hadis ini juga tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan pinangan. Hal itu dikarenakan, meskipun diakui bahwa Syariat mencela sifat mengingkari janji, namun pinangan bukanlah janji dan tidak bisa dimasukkan dalam janji. Pinangan adalah طلب نكاح (permintaan Nikah). dalam Mu'jam Lughati AL-Fuqoha dinyatakan;
معجم لغة الفقهاء (1/ 237)
الخطبة : بكسر الخاء ، طلب نكاح المرأة من نفسها أو من وليها
"Khithbah, dengan mengkasrohkan Kho' adalah; permintaan menikahi wanita kepada wanita itu sendiri atau kepada walinya" (Mu'jam Lughati AL-Fuqoha, vol.1, hlm 237)
Janji untuk menikahi seorang wanita (secara diam-diam) sendiri dicela dalam Al-Quran, dan dilarang seorang Muslim melakukannya. Allah berfirman;
{لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا } [البقرة: 235]
Janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia (Al-Baqoroh; 235)
Jadi, keputusan membatalkan pernikahan baik dari pihak lelaki maupun wanita dengan alasan apapun tidak bisa disalahkan secara hukum syara.
Ini adalah jawaban pertanyaan pertama.
Adapun pertanyaan kedua, tentang gagasan menemui AB, menjadi jamaahnya dan mengikuti programnya maka hal itu pilihan saja tergantung pihak wanita. Jika pihak wanita memang memiliki keinginan tetap menjadikan lelaki yang menzinahinya sebagai suaminya, dan pihak lelaki tersebut juga berkeinginan menjadikan wanita yang dizinahinya sebagai istrinya maka "perjuangan" ke arah sana tidak tercela. Apalagi ada hadis yang menyatakan bahwa pernikahan adalah obat yang paling mujarab bagi dua orang yang saling mencintai..
سنن ابن ماجه (5/ 440)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kami belum pernah melihat (obat yang mujarab bagi ) dua orang yang saling mencintai sebagaimana sebuah pernikahan." (H.R.Ibnu Majah)
Namun, jika pihak lelaki tidak ada kecenderungan lagi terhadap wanita yang dizinahinya, berkeinginan meninggalkannya, atau malah berbalik membencinya, sebaiknya "perjuangan" menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan ditinggalkan saja karena hal tersebut disamping akan merendahkan kehormatan pihak wanita dan keluarga hal tersebut juga bisa menambah derita wanita tersebut seandainyapun pernikahan dilangsungkan. Pernikahan asasnya adalah saling ridha. Jika dua anak manusia saling mencintai dan ridha masing-masing menjadi pasangannya, maka pernikahan bisa diperjuangkan. Jika ada yang tidak ridha maka hal itu bisa berpotensi masalah sehingga tidak dianjurkan.
Tentang pertanyaan ketiga dan keempat, yakni pendapat bahwa wanita yang berzina haram dinikahi lelaki yang menzinahinya dan jika pernikahan terjadi maka selamanya tetap dihitung zina, maka yang lebih tepat adalah tidak haram. Dalil absahnya pernikahan dua orang yang telah berzina adalah ayat berikut;
{وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ } [النساء: 24]
Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya-An-Nisa;24)
Juga ayat;
{وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ} [النور: 32]
“Nikahkanlah wanita-wanita yang belum menikah dikalangan kalian dan orang-orang shalih dikalangan budak-budak lelaki dan budak-budak wanita kalian. An-Nur;32)
Untuk ayat yang pertama, sebelum ayat ini, Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi seperti haramnya menikahi ibu, saudari, putri, mertua dsb. Setelah itu Allah menutup dengan pernyataan; “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya)”. Pernyataan tegas kehalalan wanita-wanita lain selain yang disebutkan dalam ayat bersifat umum, termasuk mencakup wanita yang pernah berzina. Karena itu sah hukumnya menikahi wanita yang pernah berzina.
Untuk ayat yang kedua, Lafadz الْأَيَامَى (wanita-wanita yang belum menikah) maknanya bersifat umum, yang mencakup wanita yang pernah berzina maupun yang tidak pernah berzina. Karena itu berdasarkan ayat ini juga, menikahi wanita yang berzina hukumnya sah.
Adapun pendapat yang mengharamkan pernikahan dengan wanita yang telah berzina dengan beralasan surat An-Nur yang berbunyi;
{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 3]
Yang sering diterjemahkan;
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (An-Nur;3)
maka ayat ini tidak bisa dijadkan sebagai dalil keharaman pernikahan dua irang yang telah berzina karena lafadz “يَنْكِحُ” pada ayat tersebut maknanya bukan Akad nikah tetapi bermakna bersetubuh. Karena itu terjemahan yang tepat terhadap ayat tersebut adalah;
Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh (dengan cara haram) melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang Musyrik; dan perempuan yang berzina tidak disetubuhi (dengan cara haram) melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki Musyrik, dan yang demikian (Zina) itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin
Memaknai lafadz يَنْكِحُ dengan makna bersetubuh (dengan cara yang haram/zina) dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Abbas dengan sanad Shahih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir.
عن ابن عباس، رضي الله عنهما: { الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً } قال: ليس هذا بالنكاح، إنما هو الجماع، لا يزني بها إلا زانٍ أو مشرك .
“Dari Ibnu Abbas tentang ayat { الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً }beliau berkata; ini sama sekali bukan (Akad ) nikah tetapi (maknanya) adalah Jimak (bersetubuh). Tidak ada yang berzina dengan wanita berzina kecuali lelaki yang berzina atau orang Musyrik (yang tidak punya iman)”
Seandainya menikahi wanita yang pernah berzina haram/tidak sah maka setiap perselingkuhan oleh salah satu pasutri harus berakibat diceraikannya secara paksa mereka dari ikatan pernikahan. Konsekuensi ini sama dengan tidak sahnya pernikahan seorang Muslim dengan wanita Musyrik. Seandainya ada pasangan yang menikah dalam keadaan dua-duanya Muslim , lalu ditengah jalan istri menjadi Musyrik, maka pasangan tersebut wajib diceraikan secara paksa, karena menikah dengan wanita Musyrik hukumnya haram sehingga pernikahannya tidak sah.
Masalahnya, ada hadis yang menunjukkan bahwa perselingkuhan/perzinaan pasangan tidak membuat status pernikahan menjadi batal. Misalnya hadis berikut ini;
سنن أبى داود (5/ 430)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِي لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ قَالَ غَرِّبْهَا قَالَ أَخَافُ أَنْ تَتْبَعَهَا نَفْسِي قَالَ فَاسْتَمْتِعْ بِهَا
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata; sesungguhnya istriku tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya. Nabi bersabda; jauhkan (ceraikan) dia. Lelaki itu menjawab; aku khawatir diriku membuntutinya (tidak sanggup berpisah dengannya). Nabi bersabda; kalau begitu bersenang senanglah dengannya.(H.R.Abu Dawud)
Lafadz لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ (tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya) menunjukkan wanita itu tidak menolak diajak berzina oleh lelaki lain. As-Syaukani dalam Nailul Author menegaskan bahwa lafadz لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ secara bahasa tidak bisa diingkari bahwa lafadz itu adalah kinayah berzina. Namun ternyata Rasulullah SAW tidak menceraikan pasangan tersebut, maka hadis ini menjadi petunjuk bahwa perzinaan tidak merusak Akad nikah.
Riwayat lain yang menguatkan;
سنن الترمذى (4/ 391)
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
Dari Sulaiman bin ‘Amr bin Al-Ahwash beliau berkata; Ayahku memberitahu aku bahwa dia menyaksikan Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW memuji Allah dan menyanjungNya. Beliau memberi peringatan dan memberi nasihat. Beliau bersabda; berpesanlah kebaikan terhadap wanita, karena mereka itu laksana tawanan bagi kalian, dan kalian tidak memiliki apapun dari mereka selain itu. Kecuali mereka melakukan perzinaan yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkan mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (H.R.At-Tirmidzi)
Hadis ini lebih lugas lagi menunjukkan bahwa perzinaan istri tidak membuat rusak Akad nikah, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan perceraian baik sukarela maupun terpaksa.
Karena itu surat An-Nur; 3 di atas tidak bermakna haramnya/tidak sahnya menikahi wanita yang pernah berzina, tapi hanya menunjukkan celaan keras terhadap aktivitas zina itu sendiri dan secara implisit menunjukkan dibencinya/makruhnya menikahi wanita yang telah berzina, meskipun menikahi mereka tetap sah hukumnya.
Demikian pula riwayat Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy yang berkeinginan menikahi pelacur Mekah yang menjadi Asbabun Nuzul dari ayat ini. Riwayat Martsad tidak menunjukkan haramnya menikahi wanita yang berzina tetapi hanya menunjukkan dibencinya menikahi mereka selama mereka belum meninggalkan perzinaannya.
Hukum ini berlaku bagi wanita yang telah berzina dan belum bertaubat. Menikahi mereka hukumnya sah, meski tidak disukai. Adapun jika mereka bertaubat, maka tidak ada masalah lagi karena menikahi mereka hukumnya sah tanpa kemakruhan sedikitpun. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat orang yang menikahi wanita yang telah dizinainya itu seperti orang mencuri anggur, lalu membelinya. Abubakar malah memandang bahwa menikahi wanita yang telah dizinai sebagai bentuk Taubat.
Namun keabsahan menikahi wanita yang telah berzina diikat syarat yaitu melakukan Istibro’. Istibro dalam hal ini adalah masa menunggu sebelum boleh melangsungkan Akad nikah. Istibro’ wanita yang hamil karena berzina dilakukan dengan durasi waktu sepanjang masa kehamilannya dan berakhir pada saat melahirkan. Artinya, wanita hamil karena perzinaan baru boleh melangsungkan Akad nikah yang syar’i setelah bayinya lahir. Jika saat hamil sudah melangsungkan Akad nikah maka Akadnya fasid (rusak) dan harus dibubarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beristibro adalah hadis berikut;
سنن أبى داود - مكنز (6/ 376، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِى سَبَايَا أَوْطَاسٍ « لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ».
Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali”(H.R.Abu Dawud)
Rasulullah SAW melarang mensetubuhi Sabaya hamil sampai melahirkan. Dalam kasus pernikahan, orang hanya bisa mensetubuhi jika telah melakukan Akad nikah yang syar’i. karena itu, hadis ini menunjukkan secara implisit dilarangnya melakukan Akad nikah, karena Akad nikah menjadi pintu masuk yang halal sebelum seseorang boleh menggauli seorang wanita.
Lebih lugas lagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memisahkan pasangan suami istri yang menikah setelah diketahui bahwa wanitanya sudah dalam keadaan hamil dulu sebelum menikah.
سنن أبى داود (6/ 31)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ بَصْرَةُ بْنُ أَكْثَمَ نَكَحَ امْرَأَةً فَذَكَرَ مَعْنَاهُ زَادَ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا
Dari Sa’id bin Musayyab bahwasanya seorang lelaki bernama Bashroh bin Aktam menikahi seorang wanita (yang telah hamil karena perzinaan)-lalu perawi menyebut lafadz yang semakna dengan lafadz sebelumnya dan menambah- dan beliau (Rasulullah SAW) memisahkan keduanya (dari ikatan pernikahan) H.R.Abu Dawud
Pemisahan paksa dari Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Akad tersebut fasid (rusak). Jadi menikahi wanita yang hamil karena zina tidak boleh sebelum dia melahirkan anaknya, atau keguguran. Diserupakan pula kebolehannya jika janin tersebut keluar dengan cara abortus, meskipun aborsi sendiri adalah maksiat baru jika dilakukakan pada janin yang telah bernyawa.
Sejumlah Shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memfatwakan kebolehan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya, bahkan terlibat langsung dalam proses menikahkan. Diriwayatkan bahwa Abubakar As-Shiddiq r.a. telah menikahkan seorang lelaki dengan gadis yang direnggut keperawanannya oleh lelaki tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 155)
عَنْ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى رَجُلٍ بِكْرٍ افْتَضَّ امْرَأَةً وَاعْتَرَفَا فَجَلَدَهُمَا مِائَةً مِائَةً ثُمَّ زَوَّجَ أَحَدَهُمَا مِنَ الآخَرِ مَكَانَهُ وَنَفَاهُمَا سَنَةً.
"Dari Abu Bakar As-Shiddiq tentang seorang lelaki yang memecahkan keperawanan seorang wanita, kemudian mereka mengaku, maka Abubakar mencambuk keduanya masing-masing seratus kali, lalu menikahkan keduanya dan mengasingkan mereka selama satu tahun" (H.R.Baihaqi)
Diriwayatkan pula bahwa Umar r.a. memerintahkan menikahkan dengan normal seorang wanita yang telah berzina kemudian bertaubat dengan baik. Al-Baihaqi meriwayatkan;
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (7/ 155)
عَنِ الشَّعْبِىِّ : أَنَّ جَارِيَةً فَجَرَتْ فَأُقِيمَ عَلَيْهَا الْحَدُّ ثُمَّ إِنَّهُمْ أَقْبَلُوا مُهَاجِرِينَ فَتَابَتِ الْجَارِيَةُ وَحَسُنَتْ تَوْبَتُهَا وَحَالُهَا فَكَانَتْ تُخْطَبُ إِلَى عَمِّهَا فَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا حَتَّى يُخْبِرَ مَا كَانَ مِنْ أَمَرِهَا وَجَعَلَ يَكْرَهُ أَنْ يُفْشِىَ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَذُكِرَ أَمْرُهَا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ لَهُ : زَوِّجْهَا كَمَا تُزَوِّجُوا صَالِحِى فَتَيَاتِكُمْ
"Dari As-Sya'bi, bahwasanya ada seorang gadis yang berzina kemudian dihukum, lalu mereka (keluarganya) berpindah, lalu gadis itu bertaubat dan bagus taubatnya serta keadaannya. Lalu dia dipinang melalui pamannya, maka pamannya merasa tidak enak menikahkannya sebelum memberitahu reputasinya, namun juga tidak suka menyebarkan hal tersebut. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Umar bin Khattab, maka Umar berkata; Nikahkanlah gadis itu sebagaimana kalian menikahkan gadis-gadis Shalihah kalian" (H.R.Al-Baihaqi)
Malah, keinginan umar adalah wanita yang berzina hendaknya dinikahi oleh lelaki yang menzinahinya, meskipun tidak wajib/harus demikian. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 248)
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ , عَنْ أَبِيهِ أَنَّ سِبَاعَ بْنَ ثَابِتٍ تَزَوَّجَ ابْنَةَ رَبَاحِ بْنِ وَهْبٍ وَلَهُ ابْنٌ مِنْ غَيْرِهَا وَلَهَا ابْنَةٌ مِنْ غَيْرِهِ فَفَجَرَ الْغُلاَمُ بِالْجَارِيَةِ فَظَهَرَ بِالْجَارِيَةِ حَمْلٌ فَرُفِعَا إلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَاعْتَرَفَا فَجَلَدَهُمَا وَحَرَص أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلاَمُ.
"Dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya, bahwasanya Siba' bin Tsabit menikahi putri Robah bin Wahb, dan dia punya putra yang didapat dari istri yang lain, sementara istrinya juga punya putri yag didapatkan dari suaminya terdahulu. Maka putranya berzina dengan putri istrinya, dan putri istrinya hamil. Maka keduanya dilaporkan kepada Umar bin Khattab dan keduanya mengaku. Maka umar mencambuk keduanya dan sangat ingin menikahkan mereka. Namun pihak lelaki menolak." (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Abbas juga memfatwakan dengan fatwa yang senada. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 248)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَصَابَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنَ الآخَرِ حَدًّا ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا ، قَالَ : لاَ بَأْسَ ، أَوَّلُهُ سِفَاحٌ وَآخِرُهُ نِكَاحٌ.
"Dari Ibnu Abbas tentang seorang lelaki dan wanita yang berzina lalu keduanya dihukum, kemudian pihak lelaki ingin menikahi wanita itu. Ibnu Abbas berfatwa; Tidak apa-apa. Awalnya Sifah (zina), endingnya Nikah (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
'Ikrimah mengumpamakan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya seperti orang yang mencuri kurma, lalu setelah itu membelinya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 249)
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ : لاَ بَأْسَ ، هُوَ بِمَنْزِلَةِ رَجُلٍ سَرَقَ نَخْلَةً ثُمَّ اشْتَرَاهَا.
"Dari 'Ikrimah beliau berkata: "Tidak masalah, itu seperti seorang lelaki yang mencuri kurma kemudian membelinya" (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Sejumlah Tabi'in besar seperti Sa'id bin Jubair, 'Al-Qomah, dan Umar bin Abdul 'Aziz juga berfatwa senada. Semuanya mendukung penjelasan hukum bahwa pernikahan lelaki dengan wanita yang dizinahinya adalah sah, bahkan bisa dikatakan termasuk cara taubat dari perzinahan tersebut.
Memang ada riwayat dari Ibnu Mas'ud, Aisyah, Jabir bin Zaid dan Al-Baro' yang menunjukkan mereka berfatwa tidak bolehnya dua orang yang berzina menikah sebelum taubat, misalnya riwayat berikut;
المعجم الكبير للطبراني (8/ 283، بترقيم الشاملة آليا)
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَعَائِشَةَ، قَالا:"لا يَزَالانِ زَانِيَيْنِ مَا اجْتَمَعَا".
Dari Ibnu Mas'ud dan 'Aisyah mereka berkata: "mereka (dua orang yang berzina) masih terus berzina selama berkumpul (H.R.At.Thobaroni)
مصنف ابن أبي شيبة (4/ 251)
عَنِ الْبَرَاءِ فِي الرَّجُلِ يَفْجُرُ بِالْمَرْأَةِ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا ، قَالَ : لاَ يَزَالاَنِ زَانِيَيْنِ أَبَدًا.
"Dari Al-Baro' tentang seorang lelaki yang berzina denngan seorang wanita kemudian menikahinya beliau berkata; mereka terus berzina selamanya" (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Namun ha ini hanya berlaku jika mereka beluam bartaubat. Jika sudah bertaubat maka tida ada masalah lagi. Lagipula ucapan selain Al-Quran dan Hadis bukan dalil, sehingga tidak bisa menjadi dasar keharaman sesuatu. Imama As-Syafi'I mengkritik fatwa ini sebagaimana diriwayatkan Baihaqi;
معرفة السنن والآثار للبيهقي (11/ 319، بترقيم الشاملة آليا)
قال الشافعي : ولسنا ولا إياهم نقول بهذا ، هما آثمان حين زنيا ويصيبان الحلال حين تناكحا غير زانيين ، وقد قال عمر ، وابن عباس ، نحو هذا
As-Syafi'I berkata; kami dan mereka tidak berpendapat seperti ini (pendapat yang mengharamkan dua orang yang berzina menikah). (pendapat kami adalah) Mereka berdua berdosa saat berzina namun halal saat menikah dan bukan berzina lagi. Umar dan Ibnu Abbas berpendapat semakna dengan ini (H.R.Baihaqi)
Hanya saja, jika ada diantara kaum muslimin yang mengadopsi hukum keharaman menikahnya dua orang yang berzina, maka hal itu tidak dapat dicela karena masih bisa dihitung pendapat islami yang didasarkan dalil meskipun tergolong Syubhat Dalil.
Untuk pertanyaan yang kelima, hukuman syariat bagi pemuda dan pemudi yang berzina yang belum pernah menikah adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Hukuman ini dalam istilah fikih disebut Hadd, dan jika dilaksanakan didunia maka pelaku maksiat tidak akan dihukum diakhirat asalkan dia bertaubat dan menjadikan Hadd tersebut dalam rangka Taubat juga. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (21/ 41)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ فَقَالَ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ كُلَّهَا فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Dari Ubadah bin Ash Shamit radliallahu 'anhu mengatakan; kami disisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di sebuah majlis, beliau bersabda: "Berbaiatlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzinah, " beliau membacakan ayat ini semuanya, "maka siapa diantara kalian yang menunaikannya maka pahalanya dari Allah, dan barangsiapa yang melanggarnya kemudian dihukum, maka hukuman itu sebagai penebus dosanya, dan barangsiapa yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya, maka Allah akan mengampuni jika Dia berkehendak, dan Allah akan menyiksanya, jika berkehendak." (H.R. Bukhari)
Namun yang berhak menghukum hanyalah Khalifah atau yang mewakilinya atau Amir dalam Daulah Islam (Negara Islam). Orang tua, ketua organisasi, atau individu tidak berhak menegakkan Hadd karena bukan wewenangnya. Jadi pengucilan dua tahun kepada lelaki yang menzinahi dari keluarga itu bukanlah Hadd, tetapi tidak lebih sanksi sosial saja. Tidak punya fungsi menghapus dosa sebagaimana Hadd yang dijalankan Khalifah.
Memang menjadi masalah ketika kaum Muslimin saat ini tidak dipimpin oleh Khalifah atau Amir dalam Daulah Islam yang menjalankan Syariat Islam. Ketiadaan Khalifah/Amir membuat Hadd dan sebagian besar syariat Islam tidak bisa diterapkan dengan sempurna. Oleh kerena itu jalan yang bisa ditempuh bagi pezina yang bertaubat adalah meninggalkan maksiat, menyesal, dan bertekad tidak mengulangi lagi meski tanpa dilakukan Hadd. Cara ini yang dilakukan karena syariat memerintahkan bertaubat pada semua jenis maksiat dengan Nash-Nash umum serta melaksanakan hukum semampunya. Dalam kondisi ketiadaan Khalifah/amir yang dimampu saat ini adalah itu.
Untuk pertanyaan yang keenam (terakhir) yaitu keputusan untuk menikah dengan lelaki itu atau tidak, maka mengulang jawaban pertanyaan yang kedua; hal itu pilihan saja. Semuanya dikembalikan kepada wanita dan lelaki. Jika masing-masing saling mencintai, maka bisa terus diperjuangkan, tetapi jika tidak maka tidak dianjurkan dilanjutkan. Bisa juga sebagai alternatif : pihak wanita bertaubat dengan sungguh-sungguh lalu meminta kepada Allah diberi lelaki yang lebih shalih dari lelaki yang pernah menzinahi. Jika bimbang dan bingung, maka istikharahlah.
Terakhir, kami memahami –jika memang kisah yang disampaikan demikian- kesusahan yang diderita pihak wanita dan keluarganya. Namun tidak ada guna merutuki dan memaki karena dalam persoalan ini kesalahan ada pada kedua belah pihak. Pihak lelaki salah karena menzinahi dan mungkin melakukan kezaliman dengan kekerasan yang dia lakukan, namun pihak wanita juga salah karena setuju dizinahi padahal zina adalah dosa besar. Kami tidak bisa menafsirkan lebih jauh makna statemen "sudah menjalin hubungan selama 5 tahun " yang disampaikan dalam kisah, namun jika yang dimaksud adalah hubungan khusus lelaki- wanita yang diistilahkan di zaman sekarang dengan nama "pacaran" atau yang mendekatinya, maka itu juga kesalahan dan pelanggaran syariat. Kedua keluarga juga salah karena membiarkan hubungan terlarang tersebut. Namun, yang sudah terjadi tidak bisa diulang lagi. Sekarang harus fokus menatap ke depan. Langkah pertama semuanya harus Taubat Nashuha disertai meminta petunjuk kepada Allah mana yang paling baik. Selanjuntnya bisa diusahakan kembali bertemu untuk bermusyawarah antar dua keluarga untuk keputusan final. Mudah-mudahan segera mendapat kelapangan. Wallahua'lam.
Referensi by : http://www.suara-islam.com
Artikel Terkait :
0 comments:
Post a Comment